PIKIRAN KARTINI KIRI, HATI KARTINI DIPOLIGAMI

Nasional, Sosial23 Dilihat

Kilasinspirasi.my.id-Hari Kartini bentuk peringatan pada pahlawan perempuan RA Kartini sebagai ibu pendidikan dan emansipasi bagi perempuan. Pada perayaannya eksis dengan kebaya.

Apakah masyarakat kita mengenal Kartini sebatas kebaya atau sanggul di kepala? Beberapa asumsi liar dari masyarakat yang tidak pernah membaca surat-surat Kartini sering kali Kartini digambarkan sebagai ibu pahlawan yang anggun, lemah lembut cerdas dan bersedia dipoligami, karena itu beberapa masyarakat laki-laki pada saat menjunjung tinggi nama Kartini diproyeksikan pada perempuan hari ini acapkali perempuan masa kini juga dianggap harus memiliki ketersediaan hati untuk dipoligami sebagaimana Kartini.

Pemahaman salah kaprah itu larut ke dalam kaca mata masyarakat kita yang sudah kadung jauh dari buku dan malas membaca.

Habis Gelap Terbitlah Terang adalah judul buku yang berisi surat-surat Kartini kepada teman penanya di Belanda, buku itu sebelumnya berjudul Door Duisternis Tot Licht kumpulan surat-surat Kartini dibukukan oleh J.H Abendanon sahabat penanya setelah Kartini wafat.

Dalam buku Habis Gelap Terbirlah Terang, melalui surat Kartini kepada Abendanon
Ia mengungkapkan situasi kondisi kehidupan perempuan Jawa yang dikurung oleh budaya patriarki. Di masa itu, tidak mudah menjadi Kartini dikungkung dalam sangkar tradisi menempatkan perempuan sebagai manusia yang tak punya hak bersuara, justru ia memiliki keberanian untuk menuliskan pikirannya kepada teman-temannya di Eropa.

Melalui suratnya kepada Stella Zeehandelaar ia mendambakan kehidupan anak muda di Eropa. Di buku Kartini versi Armijin Pane seorang sastrawan pujangga baru, bab pertama berjudul: Dirudung cita- cita dihambar kasih sayang, suratnya pada bagian ini Kartini mengungkapkan penderitaan perempuan Jawa akibat adat, perempuan jawa tidak bisa bebas mendapatkan pendidikan di bangku sekolah, mereka harus dipingit, dinikahkan pada laki-laki yang tak dikenalnya dan harus mau dipoligami.

*Kartini menggugat poligami*, Ia mengungkapkan bahwa lengkap sudah penderitaan perempuan jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu. Mestinya, bagi kita perempuan perlu memahami betul pesan yang tersirat dalam surat Kartini betapa menderitanya perempuan yang dipaksa dipoligami, betapa konyol saat perempuan dipaksa patuh pada ayat-ayat kibat suci yang sebenarnya tak pernah mereka pahami.

*Kartini mempertanyakan agamanya*, mengapa kitab suci harus dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami, hal ini menunjukkan Kartini mempelajari Al-Quran dan tak menemukan ayat yang mengindahkan laki-laki untuk berpoligami apabila ayat-ayat dalam kitab Al-Quran itu dipahami dengan kritis bukan hanya sekedar dilafalkan. “Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” (hlm 45). Surat tersebut merupakan kritik Kartini terhadap kitab suci yang selalu dijadikan pembenaran laki-laki untuk berpoligami

Meski Kartini dengan pikiran kiri yang akhirnya tersungkur juga oleh budaya patriarki dipaksa menjadi istri ke tiga, namun sebagai bentuk perlawanan Kartini terhadap patriarki, Kartini memberikan syarat dalam pernikahan itu, yaitu Kartini tetap ingin mendirikan sekolah bagi perempuan dan Kartini menolak berjalan nunduk dihadap sang suami, pada masa itu persyaratan yang diajukan Kartini adalah tamparan dan pecutan terhadap laki-laki, sebab di masa itu perempuan harus berjalan jongkok dihadapan laki-laki terutama berhadapan sang Suami, dan Kartini bukan hanya menolak jalan jongkok bahkan sekedar jalan menunduk saja Kartini tidak sudi.

Kartini dipoligami ibaratnya sama dengan kondisi dimana segagah-gagahnya laki-laki ia tak berdaya dihadapan selangkangan perempuan, begitupun Kartini sekiri-kirinya Kartini ia juga terpenggal oleh budaya patriarki di lehernya, namun kepalanya tetap membara dengan perlawanan.

Mungkin… Apabila hari itu Kartini tidak mensyaratkan hal tersebut dalam pernikahannya, mungkin sampai dengan hari ini perempuan masih dipaksa untuk berjalan jongkok setidaknya jalan dengan menunduk dihadapan suaminya. Mungkin, kalau bukan keras kepalanya Kartini di masa itu yang ingin terus mengabdi mendirikan sekolah bagi perempuan mungkin saja hari ini perempuan akan masih sulit melenggang di perguruan tinggi.

Lalu bagaimana cara perempuan hari ini mengadopsi pikiran Kartini? Perempuan hari ini mesti jauh lebih kritis dari Kartini, karena apabila juga kita percaya pada Al-Quran sebagai pedoman hidup, maka kita akan paham kandungan daripada kitab suci Al-Quran telah lama mempersilahkan umat manusia untuk mengkritisi Al-Quran itu sendiri. Artinya, saat Quran itu sendiri disediakan untuk dikritisi, bagaimana kita memilih “diam” terhadap perkara-perkara lain saat ada ketimpangan sosial dikehidupan manusia yang berada di negara yang sedang acak-acakan ini?

 

Penulis : Amelia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *